Friday, May 11, 2012

Pengembangan Sistem Evaluasi PAI (2)


Pengembangan Sistem Evaluasi PAI

KATA PENGANTAR



Alhamdulillah, puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT. Shalawat beriringan salam kita panjatkan keharibaan nabi besar Muhammad SAW dan para sahabatnya sekalian, yang mana pada tahun 2009 - 2010 M ini penulis dapat menyusun makalah Pengembangan Sistem Evaluasi PAI. Disini penulis mengangkat judul tentang “Pengertian, Fungsi, Tujuan Dan Sasaran Evaluasi Pendidikan”.
Dalam hal ini, penulis menyadari berbagai kelemahan kekurangan dan keterbatasan yang ada. Sehingga tetap terbuka kemungkinan terjadinya kekeliruan dan kekurangan disana sini, baik penulisan terutama dalam bidang isi dan sistematika uraiannya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak dalam rangka tercapainya kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya, kepada Allah jualah penulis berserah diri serta memohon taufik hidayah-Nya. Kepada teman - teman dari segenap pembaca makalah ini, kiranya makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan suri teladan bagi kehidupan kita semua. Amiin.



                                                                                    Karawang, 11 Oktober 2012











DAFTAR ISI


Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................      i
DAFTAR ISI ......................................................................................................     ii
BAB    I.       PENDAHULUAN ........................................................................     1
                     A.  Latar Belakang .........................................................................     1
BAB    II.     PEMBAHASAN ...........................................................................     2
                     Pengertian, Fungsi, Tujuan Dan Sasaran Evaluasi Pendidikan ......     2
                     A.  Pengertian Evaluasi ..................................................................     2
                     B.  Fungsi Evaluasi ........................................................................     3
                     C.  Tujuan Evaluasi ........................................................................     5
                     D.  Sasaran Evaluasi ......................................................................     6
BAB    III.    PENUTUP .....................................................................................     7
                     A.  Kesimpulan ..............................................................................     7
                     B.  Kritik Dan Saran ......................................................................     7
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................     9


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendidik merupakan komponen dasar penting dalam sistem pendidikan. Pendidik akan berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu, pendidik sangat berperan besar sekaligus menentukan ke mana arah potensi peserta didik yang akan dikembangkan.
Konsep pendidik dalam perspektif pendidikan memiliki karakteristik tersendiri yang sesuai dengan karakteristik pendidikan itu sendiri. Hal itu juga dapat ditelusuri melalui tugas dan persyaratan ideal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. Tentu semua itu tidak terlepas dari landasan ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang menginginkan perkembangan pendidik tidak bertentangan dengan ajaran kedua landasan tersebut sesuai dengan pemahaman maksimal manusia.
Jika karakteristik yang diinginkan oleh pendidikan dapat dipenuhi, maka pendidikan yang berkualitas niscaya akan dapat diraih. Untuk itu, kajian dan analisis filosofis sangat dibutuhkan dalam merumuskan konsep pendidik dalam perspektif pendidikan sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang pendidik.

Makalah yang sederhana ini akan menguraikan tentang analisis filosofis tentang pendidik dalam perspektif filsafat pendidikan. Diharapkan makalah ini menjadi bahan diskusi lebih lanjut agar dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang pendidik itu sehingga berguna dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan secara efektif dan efisien.




B.  Skema Rumusan Masalah
Makalah ini memmbahas tentang pendidik (guru) pendidikan dengan Analisis dan Pola Fikir Filosofis secara ontologis,epistemology dan aksiologi dengan pola pikir sistematis, radikal, universal yang dirumuskan seperti berikut:

Rumusan Masalah Pendidik

Pola fikir filosofis  tentang pendidik ( guru ) pendidikan
1.      Ontologis
a). apa itu pendidik ?.
b). siapa pendidik itu ?.
c). bagaimana keberadaan pendidik itu?

2.      Epistemology
a). bagaimanakah karakteristik pendidik itu?.
b). bagaimana pula syarat menjadi pendidik itu?.
c). seperti apa pula perspektif islam tentang kompetensi pendidik?

3.      Aksiology
a). bagaimanakah peran pendidik itu dan apa pula fungsi pendidik itu?
b) apa saja yang menjadi tugas pendidik ?
c) dan apa tanggung jawab pendidik ?
d) dan seperti apakah kode etik pendidik supaya tujuan pendidik tercipta?


BAB II
PEMBAHASAN


A.  Analisis dan Pola Pikir Filosofis Tentang Pendidik
1. Analisis dan Pola Pikir Filosofis Tentang Pendidik Secara Ontologi
Pendidik adalah orang yang mendidik. Dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah disebut guru, sedangkan pada perguruan tinggi disebut dengan dosen. Dalam bahasa Arab, juga ditemukan beberapa istilah yang memiliki makna pendidik, yaitu ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib. Abuddin Nata mengemukakan bahwa kata ustadz jamaknya asātidz yang berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyiar. Adapun kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih), lecture (dosen). Sedangkan kata mu’allim yang juga berarti teacher (guru), instructor (pelatih), dan trainer (pemandu). Sementara kata mu’addib berarti educator (pendidik) atau teacher in koranic school (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an).
Adanya perbedaan dalam penggunaan istilah pendidik, juga berangkat dari penggunaan istilah pendidikan yang digunakan. Bagi orang yang berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk menggunakan pendidikan adalah tarbiyah, maka seorang pendidik disebut murabbi, jika ta’līm yang dianggap lebih tepat, maka pendidiknya disebut mu’allim, dan jika ta’dīb yang dianggap lebih cocok untuk makna pendidikan, maka pendidik disebut dengan mu’addib.



Kata ”murabbi”, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknnya tumbuh dengan fisik yang sehat dan kepribadian serta akhlak terpuji. Term mu’addib mengacu kepada guru yang memiliki sifat-sifat rabbany yaitu nama yang diberikan bagi orang-orang yang bijaksana dan terpelajar yang memiliki sikap tanggung jawab yang tinggi serta mempunyai jiwa kasih sayng terhadap peserta didik. Sedangkan kata ”mu’allim” memberikan konsekuensi bahwa guru adalah seorang yang alim (ilmuan), menguasai ilmu pengetahuan, keratif dan memiliki komitmen dalam pengembangan ilmu. Dalam pengertian ini maka seorang guru harus kaya dengan ilmu dan aktivitas dan ia berusaha untuk memberikan pengetahuannya tersebut kepada peserta didiknya.

Meskipun terdapat berbagai perbedaan istilah, yang jelasnya makna dasar dari masing-masing istilah tersebut terkandung di dalam konsep ”pendidik” dalam pendidikan Islam. Dengan demikian, ”pendidik” tidak hanya sebagai orang yang menyampaikan materi an sich kepada peserta didik (transfer of knowladge), tetapi lebih dari itu ia juga bertugas untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal (tranformation of knowladge) serta menanamkan nilai (internalitation of values) yang berlandaskan kepada ajaran Islam. Tegasnya, seorang pendidik berperan besar dalam menumbuh-kembangkan berbagai potensi positif peserta didik secara optimal sehingga tujuan pendidikan Islam yang ideal dapat diraih.

Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama, Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia. Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya. Keempat, Guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.

2. Keberadaan Pendidik

a. Pendidik dalam al-Qur’an

Secara eksplisit, memang tidak ditemukan ayat-ayat al-Qur’ann yang berbicara tentang pendidik. Namun secara implisit, al-Qur’an membicarakan tentang pendidik. Hal itu dapat dilihat dari konsep al-Qur’an tentang ilmu dan kedudukan orang-orang yang berilmu. Orang yang berilmu ini tentunya memiliki hubungan erat dengan pendidik, dimana pendidik adalah orang yang memiliki dan mengajarkan ilmu.
Dalam al-Qur’an ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah memposisikan pendidik pada tempat terhormat. Seperti firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْوَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadilah/58: 11)

Selain dari ayat di atas, juga terdapat firman Allah dalam surat az-Zumar tentang posisi seorang pendidik dengan ilmu yang dimilikinya. Firman-Nya:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
Artinya: Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. az-Zumar/39: 9).

Selain dari posisi di atas, seorang pendidik yang berilmu tersebut memiliki karakter takut, tunduk dan taat kepada Allah (khasyyatullah). Hal ini berarti bahwa secara implisit seorang pendidik memiliki kelebihan dari manusia lain ketika menjalankan perintah Allah. Firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fathir/35: 28).

Menurut Ramayulis, dari ayat-ayat yang berkenaan dengan ilmu (pendidik) di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah menempatkan seorang pendidik pada posisi yang terhormat. Jika digunakan logika berfikir yang linear maka tentunya posisi ulama akan terus meningkat derajatnya apabila ia mengaplikasikan ilmunya dalam sikap hidup dan perilaku sehari-hari. Selanjutnya posisi terhormat seorang pendidik tersebut akan terus meningkat ke derajat yang lebih tinggi bila ilmu tersebut diwariskan kepada orang lain melalui usaha pendidikan.

b. Pendidik dalam Hadis

Dari beberapa hadis dapat dilihat bahwa Nabi Muhammad SAW juga memposisikan pendidik di tempat yang mulia dan terhormat. Dia menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, sementara makna ulama adalah orang yang berilmu. Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidik termasuk ulama. Tegasnya, pendidik adalah pewaris para nabi. Hadis itu berbunyi:
.....
اْلعُلَمَاءُ وَرَاثَتُ اْلاَنْبِيَاءِ.....
Artinya: …...Para ulama (guru) adalah pewaris para nabi…(Dari Abu Darda’ r.a. dan diriwayatkan oleh Ibn Majah)

Hadis di atas juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memberikan perhatian yang besar terhadap ”pendidik” sekaligus memberikan posisi terhormat kepadanya. Hal ini beralasan mengingat peran pendidik sangat menentukan dalam mendidik manusia untuk tetap konsisten dan komitmen dalam menjalankan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

c. Pendidik dalam Sistem Pendidikan Nasional

Dalam sejarah bangsa Indonesia, status pendidik juga mendapat penghormatan yang mulia. Bahkan sering dikenal pepatah yang menyebutkan bahwa guru adaha ”digugu dan ditiru”. Di beberapa wilayah Indonesia, ada beberapa ungkapan populer untuk menyebut guru. Di Minangkabau, misalnya, guru biasanya disebut Buya berasal dari kata abuyya yang berarti Bapakku tercinta; sementara di daerah lain, seperti Sunda, dikenal sebutan Yang guru, Nyai guru, Kang guru, Uwa guru dan Aki guru. Walaupun sebutan itu ditujukan kepada guru yang memiliki keunggulan, namun hal ini bisa dijadikan alasan kuat untuk menyatakan bahwa guru berada pada posisi terhormat di mata masyarakat.
Dalam sistem pendidikan nasinal, pendidik dikenal dengan beberapa sebutan, seperti yang ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 1 ayat (6): ” Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”.

Sementara dalam pendidikan formal, pendidik dikenal dengan sebutan guru untuk tingkat sekolah dasar dan menengah dan dosen untuk tingkat perguruan tinggi. 
Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada Bab II pasal 2 disebutkan bahwa:

1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 8 disebutkan juga bahwa ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”

Kompetensi yang dimaksud dijelaskan sebelumnya pada pasal 1 ayat (10): ”Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.” Sedangkan kompetensi itu meliputi empat aspek, sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 10 ayat (1) ”Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.

Adanya konstitusi di atas menunjukkan bahwa pendidik memang memiliki peran penting serta berkedudukan yang mulia dan terhormat, tidak saja dalam perspektif Islam, tetapi juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Hal ini tentunya berangkat dari kesadaran bahwa pendidik memiliki peran strategis sekaligus memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan dan peningkatan peradaban suatu bangsa.

Berkaitan dengan ini, maka dalam pendidikan Islam disebutkan bahwa pendidik dipandang sebagai abu al-ruh (orang tua spiritual atau rohani) bagi para muridnya. Guru hadir di hadapan muridnya dalam kelas memberikan bimbingan jiwa dengan berbagai hikmah, dan mauizhah dalam melaksanakan pendidikan, terutama dalam membimbing akhlak dan moral. Atas dasar ini maka menghormati pendidik juga berarti menghormati Bapaknya (orang tua) sendiri, dan penghargaan terhadap pendidik berarti juga menghargai orang tuanya juga.

3. Tugas Pendidik

Mengenai tugas pendidik dalam perspektif pendidikan Islam, Ramayulis membaginya ke dalam dua tugas, yaitu tugas umum dan tugas khusus. Secara umum, tugas pendidik adalah mengemban misi rahmatan li al-‘ālamīn, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian misi dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh, dan bermoral tinggi.

Secara khusus, tugas pendidik ada tiga macam. Pertama, sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan. Kedua, sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia. Ketiga, sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait. Tugas ketiga ini menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.

Sementara Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip Samsul Nizar, bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaannya. Para pendidik dituntut untuk dapat mensucikan jiwa peserta didiknya. Hanya dengan melalui jiwa-jiwa yang suci manusia akan dapat dekat dengan Khaliq-Nya. Begitu pula an-Nahlawi berpendapat bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, tugas utama yang perlu dilakukan pendidik adalah tazkiyat an-nafs yaitu mengembangkan, membersihkan, mengangkat jiwa peserta didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkan dari kejahatan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrah-Nya yang hanif. Pendapat ini menunjukkan bahwa tugas seorang pendidik yang tidak kalah penting adalah sebagai muzakky.

Dalam al-Qur’an juga disinggung bahwa tugas pendidik—dalam konteks pendidik sebagai waratsatul an-biya’—memang bertugas sebagai sekaligus mu’allim sebagai muzakky. Hal ini sesuai dengan tugas Rasul dalam firman-Nya:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah/2: 151).

4. Karakteristik Pendidik

Perlu juga dipahami bahwa pendidik dalam pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik ini tentunya membedakan pendidik dalam perspektif pendidikan Islam dengan pandangan pendidikan non-Islam lainnya. Al-Abrasy mengemukakan beberapa karakteristik pendidik.

a. Seorang pendidik bersifat zuhud, artinya melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi, melainkan mendidik untuk mencari keridhaan Allah.
b. Seorang pendidik harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya, terhindar dari dosa, sifat ria dengki, permusuhan, dan sifat –sifat tercela lainnya.
c. Seorang pendidik harus ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan memiliki sifat-sifat terpuji lainnya, seperti rendah hati, jujur, lemah lembut, dan sebagainya.
d. Seorang pendidik mesti suka memaafkan orang lain, terutama kesalahan peserta didiknya, lalu ia juga sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan mempunyai harga diri.
e. Seorang pendidik harus mencintai peserta didiknya seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya.
f. Seorang pendidik harus mengetahui karakter/tabiat peserta didiknya.
g. Seorang pendidik mesti menguasai pelajaran yang ia berikan.

Sementara an-Nahlawi menyebutkan beberapa karakteristik seorang pendidik, yaitu:
a. Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya.
b. Bersifat ikhlas; melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari ridha Allah dan menegakkan kebenaran.
c. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik.
d. Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
e. Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan mengkajinya lebih lanjut.
f. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan.
g. Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan proporsional.
h. Mengetahui kondisi psikis peserta didik.
i. Tanggap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola berpikir peserta didik.
j. Berlaku adil terhadap peserta didiknya.

Dari karakteristik di atas dapat dipahami bahwa pendidik dalam pandangan Islam memiliki posisi yang tinggi dan terhormat. Namun tugas yang mesti mereka emban tidaklah mudah, sebab Islam menuntut pendidik tersebut melakukan terlebih dahulu apa-apa yang akan ia ajarkan. Dengan begitu, pendidik akan mampu menjadi teladan (uswah) bagi peserta didiknya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendidik yang mulia, yaitu Nabi Muhammad SAW.

Ibn Khaldun, dalam kitabnya Muqaddimah, juga berpendapat bahwa seorang guru harus memiliki karakter yang baik. Dalam hal ini ia mengutip wasiat al-Rasyd kepada Khalaf bin Ahmar, guru puteranya MUhammad al-Amin. Wasiat ini merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang guru. Wasiat itu berbunyi,

"O Ahmar, Amirul Mu'minin telah mempercayakan anaknya kepada Anda, kehidupan jiwanya, dan buah hatinya. Maka, ulurkan tangan Anda padanya, dan jadikan dia taat pada Anda. Ambillah tempat di sisinya yang telah Amirul Mukminin berikan pada Anda. Ajari dia membaca Al Qur'an. Perkenalkan dia sejarah. Ajak dia meriwayatkan syiir-syiir dan ajari dia Sunnah-sunnah Nabi. 
Beri dia wawasan bagaimana berbicara dan memulai suatu pembicaraan secara baik dan tepat. Larang dia tertawa, kecuali pada waktunya. Biasakan dia menghormati orang-orang tua Bani Hasyim yang bertemu dengannya, dan agar ia menghargai para pemuka militer yang datang ke majlisnya. Jangan biarkan waktu berlalu kecuali jika Anda gunakan untuk mengajarnya sesuatu yang berguna, tapi bukan dengan cara yang menjengkelkannya, cara yang dapat mematikan pikirannya. Jangan pula terlalu lemah-lembut, bila umpamanya ia mencoba membiasakan hidup santai. Sebisa mungkin, perbaiki dia dengan kasih-sayang dan lemah-lembut. Jika dia tidak mau dengan han itu, Anda harus mempergunakan kekerasan dan kekasaran."

Wasiat di atas menjadi hal yang penting untuk diketahui oleh setiap pendidik. Dari wasiat itu pula dapat disimpulkan bahwa setiap pendidik mesti bijaksana dalam mendidik anaknya, penuh kesabaran dan kasih sayang serta tanggung jawab yang tinggi sehingga si anak memiliki kompetensi di bidang yang ia ajarkan.

5. Persyaratan Pendidik

Dari penjelasan tugas dan karakteristik pendidik di atas, dapat dipahami bahwa menjadi seorang pendidik yang sesungguhnya tidaklah mudah; butuh upaya yang sungguh-sungguh. Agar tugas tersebut dapat dijalankan dan karakteristik pendidik itu bisa dimiliki, maka seorang guru harus memiliki beberapa persyaratan. Al-Kanani (w. 733 H), seperti yang dikutip oleh Ramayulis, bahwa ada beberapa persyaratan seorang pendidik dalam pandangan pendidikan Islam. Persyaratan tersebut sebagai berikut:
Pertama, syarat-syarat pendidik berhubungan dengan dirinya sendiri, yaitu:

1. Pendidik hendaknya senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan Allah kepadanya. Karenanya ia tidak mengkhianati amanat itu, malah ia tunduk dan merendahkan diri kepada Allah SWT.
2. Pendidik hendaknya memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya ialah tidak mengajarkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, yaitu orang-orang yang menuntut ilmu untuk kepentingan dunia semata.
3. Pendidik hendaknya bersifat zuhud.
4. Pendidik hendaknya tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise atau kebanggaan atas orang lain.
5. Pendidik hendaknya menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara’ dan menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan hara dirinya di mata orang banyak.
6. Pendidik hendaknya memelihara syi’ar-syi’ar Islam, seperti melaksanakan shalat berjamaah di masjid, mengucapkan salam, dsb.
7. Pendidik hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunahkan oleh agama, baik dengan lisan maupun perbuatan, seperti membaca al-Qur’an, berzikir dan shalat tengah malam.
8. Pendidik hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak buruk.
9. Pendidik hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hala-hal yang bermanfaat, seperti beribadah, membaca, mengarang, dsb.
10. Pendidik hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang yang lebih rendah dari padanya, baik dari segi kedudukan maupun usianya.
11. Pendidik hendaknya rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan memperhatikan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu.

Kedua, syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran (syarat-syarat paedagogis-didaktis), yaitu:
1. Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya pendidik bersuci dari hadas dan kotoran serta mengenakan pakaian yang baik dengan maksud mengagungkan ilmu dan syari’at.
2. Ketika keluar dari rumah, hendaknya pendidik selalu berdoa agar tidak sesat menyesatkan dan terus berzikir kepada Allah SWT. Artinya, sebelum mengajarkan ilmu, seorang pendidik harus membersihkan hati dan niatnya.
3. Hendaknya pendidik mengambil tempat pada posisi yang membuatnya dapat terlihat oleh semua peserta didik.
4. Sebelum mulai mengajar, pendidik hendaknya membaca sebagian dari ayat al-Qur’an agar memperoleh berkah dalam mengajar, kemudian membaca basmalah.
5. Pendidik hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hirarki nilai kemuliaan dan kepentingan yaitu tafsir al-Qur’an, hadis, ilmu-ilmu ushuluddin, ushul fiqh, dan seterusnya.
6. Hendaknya pendidik selau mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras.
7. Hendaknya pendidik menjaga ketertiban majelis dengan mengarahkan pembahasan pada objek tertentu.
8. Pendidik hendaknya menegur peserta didik-peserta didik yang tidak menjaga sopan santun dalam kelas.
9. Pendidik hendaknya bersikap bijak dalam melalkukan pembahasan, menyampaikan pelajaran dan jawaban pertanyaan.
10. Terhadap peserta didik, pendidik hendaknya berperilaku wajar dan menciptakan suasana yang membuatnya merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman-temannya.
11. Pendidik hendaknya menutup setiap akhir kegiatan pembelajaran dengan kata-kata wallahu a’lam yang menunjukkan keikhlasan kepada Allah SWT.
12. Pendidik hendaknya tidak mengasuh bidang studi yang tidak disukainya.

Ketiga, syarat-syarat pendidik di tengah-tengah peserta didiknya, antara lain:
1. Pendidik hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu, menghidupkan syara’, menegakkan kebenaran, melenyapkan kebatilan, dan memelihara kemaslahatan umat.
2. Pendidik hendaknya menolak untuk mengajar peserta didik yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar.
3. Pendidik hendaknya mencintai peserta didiknya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
4. Pendidik hendaknya memotivasi peserta didik untuk menuntut ilmu seluas mungkin.
5. Pendidik hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar peserta didiknya dapat memahami pelajaran.
6. Pendidik hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya.
7. Pendidik hendaknya bersikap adil terhadap semua peserta didiknya.
8. Pendidik hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan peserta didik, baik dengan kedudukan ataupun hartanya.
9. Pendidik hendaknya terus memantau perkembangan peserta didik, baik intelektual maupun akhlaknya. Peserta didik yang shaleh akan menjadi “tabungan” bagi pendidik, baik di dunia maupun di akhirat.

Syarat-syarat di atas harus diupayakan oleh seorang guru secara optimal sehingga ia akan menjadi guru yang profesional, baik dalam kemampuan paedagogik, profesional, individual hingga kepada sosialnya. 
Semua kemampuan/kompetensi tersebut tentunya berlandaskan kepada ajaran Islam.




Rekomendasi

Demikian pentingnya pendidik, maka pendidik ini harus menjalankan tugas dan memahami perannya sebagaimana yang dijelaskan di atas. Dalam konteks pelaksanaan pendidikan di Indonesia, pendidik, baik guru maupun dosen memang telah mendapat perhatian dari pemerintah, terbukti dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Namun, pendidik harus menyadari bahwa pendidik tidak hanya sekedar profesi formal yang bertanggung jawab dalam menyampaikan materi sebaik-baiknya, dengan perencanaan pembelajaran yang matang dan menerapan metode yang baik. Hal yang lebih penting adalah pendidik seharusnya sebagai figur-central (uswatun hasanah) bagi peserta didiknya.

Apalagi adanya pergerseran nilai yang semakin tajam di era globalisasi ini, prinsip pragmatisme dan materialisme selalu menjadi pertimbangan—terkadang menjadi pertimbangan utama—dalam setiap profesi, termasuk profesi guru. Berkualitas tidaknya suatu pembelajaran hanya diukur dengan seberapa besar materi yang ia dapatkan.
Oleh karena itu, prinsip keikhlasan dan keteladan seharunya lebih mendapat perhatian bagi guru dalam konteks kekinian. Sikap yang ikhlas bukan berarti tidak membutuhkan materi, tetapi materi bukanlah tujuan utama dan penentu akhir berhasil tidaknya suatu pendidikan. Begitu pula keteladanan, bukan hanya tugas guru yang berkenaan dengan bidang studi akhlak an sich, seperti bidang studi agama dan bidang studi kewarganegaraan; akan tetapi keteladanan harus menjadi kepribadian setiap guru--terlepas apa pun bidang studi yang dibimbingnya—terutama guru yang beragama Islam. Hendaknya, masing-masing guru tersebut telah memiliki kepribadian Islami, sebab keteladanan kepribadian ini sangat menentukan berhasil tidaknya seorang pendidik dalam mempengaruhi pembentukan karakter (caracter bulding) peserta didik yang sesuai dengan ajaran Islam.

Hal ini tentu bisa mereka miliki, meskipun background pendidikan dari masiang-masing guru tersebut tidak berasal dari lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan Pergutuan Tinggi Agama, akan tetapi di lembaga pendidikan umum pun mereka sudah mendapat pendidikan agama melalaui bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Diperkuat lagi pendidikan keluarga dan masyarakat yang berkenaan dengan pendidikan agama Islam itu sendiri. Oleh karena itu, meskipun kepribadian Islami menjadi tanggung jawab semua guru, akan tetapi guru bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI) tetap mendapat prioritas dan bekerja keras agar mampu mewarnai bidang studi lain di lembaga pendidikan umum. Hanya saja, kebersamaan visi dan misi dari lembaga tersebut sangat dibutuhkan untuk mewujudkan pendidik yang memiliki karakteristik sebagaimana yang diinginkan dalam konsep pendidikan Islam. Pentingnya memperkuat dan mempertegas peran guru dalam membentuk kepribadian peserta didik yang Islami juga tersirat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 6 disebutkan bahwa "kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional…".


Download Klik

No comments:

Post a Comment